[ADS] Top Ads

Biografi Sudomo


Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo (lahir di Malang, Jawa Timur, 20 September 1926; umur 85 tahun) adalah seorang petinggi militer yang terkenal dimasanya karena jabatannya sebagai Pangkopkamtib.

Dalam posisi pemerintahan beliau pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja pada periode 1983 - 1988 dan juga sebagai Ketua DPA.

Sudomo sendiri sempat bergonta-ganti agama, setelah akhirnya Sudomo kembali menganut agama Islam. Keputusan tersebut ternyata berasal dari keinginannya sendiri dan pengalaman religi yang pernah menghampiri perjalanan hidup pria kelahiran kota Malang ini. Salah satunya adalah saat mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan Allah setelah melihat masjid Al-Huda di Malang. Lalu bagaimana cerita sebenarnya dan perjalanan hidup pria yang sempat menikah tiga kali ini?

Berikut kisah yang saya kutip dari wawancara Fajar Aryanto (Tabloid Realita) dengan Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo:

Selasa pagi, kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, nampak rindang dengan pepohonan yang menghiasi sepanjang tepi jalan. Hal serupa juga terlihat di salah satu rumah di jalan Kencana IV, yang juga dihiasi dengan pepohonan rindang. Tak pelak, udara sejuk pun menjadi salah satu penyemangat Realita untuk bertemu dengan seorang tokoh yang cukup dikenal masyarakat khususnya di zaman orde baru. Pria bernama Sudomo tersebut memang mendiami rumah yang cukup besar dan asri itu. Suasana rumahnya memang tidaklah ramai. Kendati begitu, si empunya ternyata tengah berada di dalam rumah.

Saat memasuki kediaman Sudomo, berbagai perabotan pemanis ruangan terlihat menghiasi di beberapa sudut rumah. Selang beberapa saat kemudian, pria berambut putih keluar dari salah satu pintu. Senyum mengembang ketika menyadari kehadiran Realita di rumahnya. Di usia senja, langkah kakinya memang sedikit lebih rapuh ketimbang beberapa tahun sebelumnya saat ia masih aktif di instansi pemerintahan. Meski begitu, tatapan mata seorang pemimpin masih nampak jelas dari sorotan matanya yang memandang ke segala arah. Tak hanya itu saja, jabatan tangannya masih terasa erat dan kuat, seakan-akan jiwa muda masih merasuk dalam dirinya.


Suara yang keluar dari mulutnya pun masih terdengar lantang. Tak ada keletihan yang tergambar dari fisik Sudomo meski kerutan telah menghiasi wajahnya. Sembari duduk di sebuah sofa, Sudomo lantas berbagi kisah mengenai perjalanan hidup dan pengalaman religi yang menghantarkan dirinya kembali ke jalan Allah.

Didikan Agama Kuat. Selama 53 tahun telah dijalani Sudomo untuk mengabdi di berbagai instansi pemerintahan. Sekitar 36 tahun di antaranya, Sudomo sempat bergonta-ganti agama yang diyakininya. Sebutan 'murtad' pun lantas disandangnya. Penilaian negatif dari berbagai kalangan masyarakat langsung menghampiri Sudomo. Kendati begitu, Sudomo tetap melenggang menjalani karirnya yang semakin merangsek naik. Padahal, ia justru terlahir dan dibesarkan dari sebuah keluarga dengan didikan agama yang kuat. Sudomo lahir di kota apel, Malang, Jawa Timur, pada 20 September 1926. Sudomo merupakan anak pertama dari lima bersaudara pasangan (Alm.) Martomihardjo dan (Almh.) Soleha. Sang ayah kala itu berprofesi sebagai seorang guru sekaligus kepala sekolah sebuah Sekolah Rakyat (SR) di kota Malang. Sedangkan ibundanya hanyalah ibu rumah tangga biasa yang merangkap sebagai ibu RT (Rukun Tetangga) di lingkungan tempat tinggalnya. “Orang yang paling berperan dalam hidup saya adalah kedua orang tua,” ungkapnya haru. “Kalau kamu suka membantu orang lain, maka kamu juga akan selalu dibantu,” ungkap Sudomo menirukan omongan kedua orang tuanya.


Kesukaan sang ayah terhadap buku, tertular pada Sudomo. Alhasil, ia memiliki hobi membaca buku sejak masih kanak-kanak. Bahkan hingga sekarang pun, ia masih tetap membaca buku. “Sekarang koleksi buku saya sudah ribuan,” aku pria humoris ini.

Didikan agama Islam yang kuat menjadi salah satu ajaran orang tua yang paling diingat Sudomo hingga sekarang. Setiap anak selalu diwajibkan untuk menunaikan ibadah shalat, termasuk Sudomo. Tak hanya itu saja, kebebasan juga menjadi hal yang sangat dihargai dalam keluarga. Setiap anggota keluarga diperbolehkan untuk mengemukakan pendapat di dalam keluarga.
Sudomo kecil bersekolah di HIS Probolinggo dan tamat pada tahun 1939. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di MULO di kota yang sama. “Tapi waktu itu tidak tamat karena adanya perang pasifik tahun 1941,” kenang Sudomo. Selepas itu, ia kemudian melanjutkan kembali pendidikan SMP di Malang hingga tamat pada tahun 1943. Ketika remaja, Sudomo tertarik dengan dunia pelayaran. “Saya senang melihat orang-orang di pelayaran yang memakai seragam dan kelihatan gagah,” ungkap Sudomo. Tak heran, ia lantas memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) di kota Cilacap.

Seiring dengan ketertarikannya di dunia pelayaran, Sudomo juga turut menekuni dunia militer. Hal tersebut terlihat saat ia mengikuti Pendidikan Perwira Special Operation. Bahkan Sudomo juga sempat mengenyam pendidikan di negeri kincir angin, tepatnya di Artilerie School, Den Helder, Belanda. Tak hanya di negeri Belanda, Sudomo juga mengikuti kursus Komandan Destroyer Gdynia, Polandia dan menamatkannya pada tahun 1958.

Prestasinya di dunia militer dan pelayaran memang memuluskannya dalam menempuh pendidikan di luar negeri. Pendidikan di Lemhanas, Sekolah Para Komando KKO, dan SESKOAL juga sempat diikutinya. Beberapa operasi militer juga pernah dilakoninya sebagai seorang pemimpin, diantaranya adalah pertempuran Laut Arafuru dan pembebasan Irian Barat yang juga menjadi kesuksesannya dalam bidang militer.

Pindah Keyakinan saat Menikah. Seiring dengan beberapa pendidikan militer yang diikutinya, jabatan dan pangkat di kemiliterannya pun merangkak naik. Tercatat Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dan Kepala Staf TNI AL pun pernah disandangnya. Selepas berkarir di dunia militer, Sudomo lantas melanjutkan kembali kesuksesan karirnya di dunia pemerintahan.

Sudomo sempat menyandang sebagai anggota MPR RI, Menteri Tenaga Kerja (1983-1988), Menko Polkam (1988-1993), dan puncaknya sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung periode 1993 hingga 1998 (tepat 14 hari sebelum Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, red). Alhasil, lebih dari separuh usianya saat ini telah dihabiskannya untuk kepentingan bangsa dan negara. Tak pelak, ia banyak dicap sebagai salah satu kroni Soeharto oleh berbagai pihak. “Bagi saya, karir yang cukup bagus termasuk 53 tahun di dunia pemerintahan merupakan mukjizat Allah,” ujar Sudomo.

Kesuksesannya dalam berkarir di dunia pemerintahan dan militer, ternyata berbanding terbalik dengan kehidupan pribadinya. Kondisi pernikahannya selalu kandas di tengah jalan. Bahkan ia termasuk orang yang dikenal sebagai pria yang kerap bergonta-ganti istri. Seiring dengan bergonta-ganti istri itulah, agama yang dianutnya juga kerap berganti-ganti. Kendati sedari kanak-kanak, Sudomo telah dididik agama Islam yang kuat, saat dewasa ia justru tergoda untuk berpindah agama. Godaan tersebut berasal dari sosok perempuan yang lantas menjadi istrinya. “Saya murtad itu bukan karena saya nggak baik, tapi karena saya tidak berpikir panjang,” tutur Sudomo menjelaskan.

Awal mula Sudomo berpindah agama pada tahun 1961, yakni ketika menikahi seorang wanita bernama Fransisca Play yang beragama Kristen. Perkenalan dengan Fransisca sendiri terjadi tiga bulan sebelumnya. Kala itu, kedua orang tua Sudomo sempat tidak menyetujui keputusannya. Namun, pada akhirnya mereka setuju karena keinginan Sudomo yang sangat kuat. Terlebih lagi, saat itu pernikahan beda agama masih memungkinkan terjadi di Indonesia. “Dulu belum ada UU No 1 tahun 1974 tentang pernikahan beda agama,” kenang Sudomo.
Alhasil, Sudomo pun melangsungkan pernikahan dengan Fransisca di sebuah Gereja di Jakarta. “Saya berpikir waktu itu kalau suami-istri agamanya sama maka akan lebih mudah menjalani kehidupan rumah tangganya,” ujar pria yang memiliki hobi diving ini. Sebelumnya, Sudomo pernah mengajak sang istri untuk berpindah keyakinan, tapi menolak. Tak ayal, Sudomo mengalah dan memutuskan dialah yang berpindah agama meski tanpa melalui pemikiran yang matang. Pernikahannya dengan Fransisca telah membuahkan empat anak, yakni Biakto Trikora Putra (46), Prihatina Dwikora Putri (42), Martini Yuanita Ampera Putri (41), dan Meidyawati Banjarina Pelita Putri (37). Kesemua anaknya menganut agama Kristen seperti halnya Sudomo kala itu.

Pernikahan pertamanya ternyata harus kandas di tengah jalan. Ia bercerai pada tahun 1980. “Saya sudah terbiasa memimpin di pemerintahan, itu saya bawa ke rumah tapi malah tidak berhasil pernikahannya,” tutur Sudomo.

Selang 10 tahun kemudian, Sudomo bertemu dengan seorang wanita kristiani yang berprofesi sebagai aktris film, bernama Fransiska Diah Widhowaty. Awal perkenalannya sendiri diakui Sudomo atas hasil perkenalan dari salah seorang temannya. Lagi-lagi, Sudomo tertarik hanya karena kecantikan dari perempuan tersebut. “Saya tidak memikirkan cocok atau tidak, yang saya lihat hanya kecantikannya saja,” aku Sudomo. Akibatnya, pernikahan kedua tersebut hanya bertahan selama 4 tahun saja. Tepat pada tahun 1994, keduanya memutuskan untuk bercerai. Berbeda halnya dengan pernikahan pertama yang menghadirkan empat buah hati, pada pernikahan keduanya Sudomo justru tidak mendapatkan anak.

Petunjuk Mesjid Al-Huda. Selepas bercerai, sebenarnya Sudomo mengalami kebimbangan dalam menjalani keyakinan yang dipilihnya. “Saya ingin kembali lagi memeluk agama Islam, tapi waktu itu saya masih menjabat sebagai menteri,” ungkap Sudomo. “Takutnya dikira mempermainkan agama,” lanjutnya singkat. Ia juga mengakui bahwa selama itu, kedua orang tuanya memang tak henti-hentinya mendoakan agar ia kembali ke jalan Allah.

Setelah tak lagi menjabat di pemerintahan, Sudomo akhirnya memantapkan diri untuk kembali ke jalan Allah. Tak hanya itu saja, ada sebuah pengalaman yang mungkin tak akan pernah dilupakannya saat memutuskan untuk kembali menjadi seorang mualaf. Kejadian itu dialaminya saat ia mengunjungi kota kelahirannya di Malang, Jawa Timur.

Ketika mengunjungi Masjid Al-Huda di kompleks Kostrad, Malang, Sudomo seakan-akan mengalami sebuah perubahan besar dalam hidupnya. Sesuatu telah mendorong dirinya untuk kembali menelusuri jalan Allah dan kembali menunaikan ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah. “Sebuah peristiwa yang sangat luar biasa, saya seakan-akan mendapatkan petunjuk. Mungkin ini berkat doa dari kedua orang tua saya,” tutur Sudomo yang nampak semakin gemuk ini. Ia sempat tertegun melihat rumah Allah. Bangunan masjid Al-Huda yang tidak begitu besar itu seolah-olah menjadi sebuah tonggak bersejarah dalam hidupnya. Tonggak yang mampu mengubah hidup seorang 'murtad' menjadi sosok bayi yang lahir kembali dan menapaki jalan menuju keridhoan Illahi. Tepat tanggal 22 Agustus 1997, Sudomo pun dengan lantang mengucapkan kalimat syahadat dan kembali menjadi seorang muslim.

Setahun setelah kembali menjadi seorang muslim, Sudomo menikah kembali dengan seorang wanita bernama Aty Kesumawati. Pada tahun yang sama pula, ia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji untuk memperbaiki tingkat keimanannya kepada Allah. Pernikahannya yang ketiga tersebut kembali kandas pada tahun 2002. Berbeda halnya dengan penyebab perceraian pada dua pernikahan sebelumnya, yang disebabkan oleh kepemimpinan Sudomo dalam keluarga, pernikahan ketiganya justru disebabkan oleh hal sebaliknya. “Bukan saya yang sering mengatur, tapi malah dia yang kebanyakan mengatur,” aku Sudomo.

Setelah perceraian pada pernikahan ketiga tersebut, Sudomo memutuskan untuk tidak menikah kembali. “Saya hanya ingin mendalami agama, mengurusi yayasan, dan cucu saja,” ujarnya tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Untuk kehidupan sehari-hari, Sudomo mengaku hanya mengandalkan uang pensiunannya setiap bulan. Fajar

Side Bar 1...
Giat Dalam Aktivitas Sosial Setelah Menjadi Mualaf

Tak hanya perubahan dalam dirinya, Sudomo juga mengalami perubahan dalam segala macam tindakan di kesehariannya. Salah satu yang paling menonjol adalah kegiatan sosial yang kini lebih banyak ditekuninya setelah menjadi mualaf. Kegiatan tersebut adalah dengan mendirikan Yayasan Husnul Khatimah pada tahun 1999. Yayasan ini berawal dari pembentukan Majelis Dzikir Nasional di masjid Al-Ihsan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. “Awalnya karena prihatin atas krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998,” ujar Sudomo. Kegiatannya antara lain adalah menggelar Silaturahmi Shubuh setiap hari Jumat di masjid Al-Ihsan.

Dalam Silaturahmi Shubuh itu, Sudomo beserta ustadz yang terlibat di dalamnya mengadakan shalat Shubuh berjamaah, dzikir bersama, dan ceramah agama dalam rangka peningkatan keimanan dari masing-masing jamaah. Selain itu, diadakan pula acara sarapan pagi dan minum kopi bersama sebagai sebuah bentuk forum komunikasi guna membahas segala macam permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat. Acara silaturahmi Shubuh kemudian berkembang menjadi wasilah Shubuh yang mencakup 750 masjid dan 4000 musholah di 10 kecamatan di daerah Jakarta Timur.

Pelaksanaan silaturahmi pun dilaksanakan secara bergilir setiap hari Minggu oleh masjid di bawah koordinasinya. Kegiatan yang cukup berhasil diadakan oleh yayasan yang dipimpin oleh Sudomo ini adalah 'Proyek Pembangunan Masyarakat Desa' di desa Cijayanti, Kabupaten Bogor. Berbagai usaha digalakkan oleh pihak yayasan dengan cara memberikan kredit usaha tanpa agunan. Besaran jumlah uang yang sudah disalurkan sebesar Rp 345 juta ke berbagai macam usaha di desa tersebut. Dananya sendiri berasal dari berbagai pihak donatur, baik perusahaan maupun pibadi.

Selain mengurusi Yayasan Husnul Khatimah, Sudomo juga aktif di Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki). Organisasi ini bergerak dalam bidang penanggulangan penyakit stroke, yang mencakup sosialisasi dan pencegahan penyakit stroke, pengobatan penyakit, pemulihan kesehatan dan peningkatan derajat kesehatan. Kegiatannya berupa berbagai penyuluhan dan penyuluhan kesehatan di berbagai daerah. Salah satu tindakan nyatanya adalah dengan mendirikan Klinik Nusantara Stroke & Medical Center yang kemudian berganti nama menjadi Nusantara Medical Center. Klinik yang berlokasi di Gedung Granadi, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan ini didirikan untuk membantu melayani masyarakat dalam pengobatan dan penanggulangan stroke serta penyakit lainnya. Selain itu, Sudomo juga sempat aktif di Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia (PMMI) sebagai ketua hingga tahun 2006 kemarin. “Saya mengundurkan diri karena sudah sejak tahun 1989 dan sudah tua juga,” ujar Sudomo sembari tertawa lebar.

Side Bar 2...

Mampu Mendekati Ka'bah Setelah Mengucapkan Asmaul Husna Saat Berhaji

Saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1998, ada sebuah kejadian religi yang dialami Sudomo ketika tengah melakukan tawaf. Dengan dibarengi rasa ikhlas dan niat tulus untuk mendekati bangunan Ka'bah, Sudomo berusaha untuk mendekati Ka'bah. Namun usahanya tersebut kerap gagal karena banyaknya jamaah haji lain yang berjejalan di depan Ka'bah. Apalagi, jamaah haji yang berasal dari negara-negara Afrika yang berpostur tinggi besar. Ia mengalami kesulitan dikala harus 'melawan' tubuh besar para jamaah lainnya.

Akhirnya, seperti ada yang membimbing, Sudomo mengucapkan asmaul husna sembari berusaha untuk mendekati Ka'bah. Secara mengejutkan, barisan orang di depan Sudomo langsung terbuka dan seolah-olah memberikan jalan baginya untuk mendekati bangunan Ka'bah. Di tengah kerumunan orang, ia berlenggang menuju Ka'bah tanpa harus berdesak-desakan dengan jamaah haji lainnya. “Bahkan ustadz yang menjadi pembimbing saya sampai-sampai mengikuti dari belakang,” kenang Sudomo yang telah menunaikan ibadah Umrah sebanyak lima kali ini.

Rasa bahagia bercampur haru menyelimuti dirinya ketika ia berhadapan langsung dengan kemegahan Ka'bah. Ia pun sempat termenung sejenak ketika pandangan matanya tertuju pada rumah yang menjadi kiblat bagi seluruh umat Islam seluruh dunia tersebut. Dengan melihat bangunan Ka'bah itu, Sudomo merasa bahwa sebuah doa bila dipanjatkan dengan tulus dan ikhlas akan segera dikabulkan Allah. Sejak saat itulah, Sudomo semakin memantapkan hatinya untuk kembali memungut puing-puing keimanannya yang sempat hancur berkeping-keping akibat emosi sementara saja.

Sudomo sendiri telah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali, yakni pada tahun 1998 dan 2002. Naik haji pertama dilakukannya tepat setahun setelah ia menjadi mualaf. Sedangkan tahun 2002, merupakan tahun di saat perceraian pada pernikahan ketiganya terjadi.

Source: Fajar Aryanto (Tabloid Realita) dan Wikipedia

Postingan Ini Dilindungi HAK Cipta, Dan menggunakan Anti Block Dan Copy dengan CSS3 (Belum bisa ditembus seperti Anti Copy Javascript) untuk menghindari Penjiplakan, Untuk Itu jika anda membutuhkan isi dari postingan ini untuk keperluan pembelajaran, anda dapat mengirimkan E-Mail ke djnand.dj@gmail.com

Posting Komentar

Copyright © 2020

Sejarah Bangsa Indonesia